BERITA & ACARA

Kesalahan Umum dalam Mengajarkan Anak Sopan Santun

Oct 24, 2025

Kesalahan Umum dalam Mengajarkan Anak Sopan Santun

Cara mengajarkan anak sopan santun tak cukup hanya sebatas teoritis belaka, perlu aksi nyata dari orangtua yang dapat anak saksikan langsung dari lingkungan terdekatnya. Sebab, nasihat verbal kadang kali tidak seefektif nasihat dalam bentuk visual. Ketika Anda menasihati, anak mungkin akan mendengar atau bahkan menyimak perkataan Anda dengan sungguh-sungguh. Tetapi belum tentu akan patuh pada nasihat tersebut.

Sementara itu, ketika Anda memberi contoh tentang budi pekerti dalam bentuk aksi, maka apa yang anak lihat dari Anda akan lebih mudah melekat dalam ingatannya dan meneladaninya.

Ketika Sopan Santun Mulai Luntur dari Generasi Muda

Mungkin sebagian besar dari orangtua setuju bahwa attitude anak zaman sekarang merosot. Ini dapat dibuktikan lewat maraknya kasus bullying sesama teman, murid berani membentak guru, bahkan mirisnya lagi anak berani melakukan kekerasan fisik pada orangtuanya sendiri.

Mengapa kemerosotan sikap sopan santun tersebut bisa terjadi? Dalam hal ini, anak bukan satu-satunya subjek yang harus dipersalahkan. Barangkali cara mengajarkan anak sopan santun yang orangtua terapkan belum tepat. Alih-alih berhasil, yang terjadi justru menimbulkan akibat fatal pada perilaku anak itu sendiri.

Mari pahami beberapa contoh cara mendidik sopan santun yang tidak tepat beserta akibatnya.

Bersuara Tinggi Tidak pada Tempat dan Kondisi yang Dibenarkan

Salah satu contoh sopan santun yang kerap orangtua ajarkan pada anak sedari dini adalah menjaga volume suara. Berbicara dengan nada tinggi identik dengan marah. Itu mengapa orangtua mengajarkan pada anak-anaknya agar tidak berbicara dengan nada keras atau berteriak-teriak.

Sayangnya, tidak sedikit orangtua atau orang dewasa lainnya yang berada di lingkungan terdekat anak melanggar aturan itu sendiri. Bahkan di luar konteks sedang marah sekalipun, tak jarang orang dewasa ngobrol dengan nada keras di tempat umum.

Akibatnya, anak membunuh rasa percayanya pada petuah orangtuanya sendiri tentang aturan berbicara. Anak akan beranggapan bahwa kebiasaan orang dewasa tersebut adalah sesuatu yang benar.

Tidak Boleh Bertengkar, tetapi Orangtua Saling Bertengkar di Depan Anak

Menahan diri untuk tidak bertengkar juga bagian dari ilmu sopan santun. Seringkali orangtua mengingatkan anak-anaknya untuk tidak bertengkar atau menghindari pertengkaran dengan siapapun, terutama dengan saudara sendiri.

Nasihat ini akan terdengar luhur sekali bagi anak yang dalam hidupnya tidak pernah melihat orangtuanya bertengkar hebat. Tetapi tidak bagi anak-anak yang sejak kecil kenyang menyaksikan pertengkaran bapak dan ibunya sendiri.

Siapa sangka jika “tontonan” itu meninggalkan luka traumatis yang diam-diam mereka pendam sendiri. Bukan tidak mungkin sewaktu-waktu mereka lakukan juga pada orang lain, termasuk menjadikan orangtua sebagai lawan untuk bertengkar pula.

Mudah Menghakimi Ketika Anak Berusaha Berkat Jujur

Semua orangtua pasti mendidik anaknya agar berani berkata jujur. Sebab berbohong bukan bagian dari budi pekerti yang baik dalam kehidupan. Tetapi cara mengajarkan anak sopan santun ini akan menjadi tidak efektif apabila orangtua tidak siap menerima kejujuran anak.

Kerapkali ketika anak mengungkapkan suatu kejujuran, orangtua malah dengan cepat menghakiminya. Padahal, penting diketahui bahwa berkata jujur itu tidaklah mudah. Anak harus mempersiapkan mentalnya terlebih dahulu untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi setelahnya. Namun usaha anak menjadi sia-sia tatkala orangtua terlalu cepat menghakimi tanpa mau mendalami masalah yang terjadi.

Akibatnya tentu saja fatal. Anak akan menganggap jujur bukanlah suatu solusi. Jujur hanya akan membuat ia terjebak pada masalah yang lebih buruk. Maka anak bakal lebih suka berbohong ketimbang berkata jujur.

Menuntut, tapi Lupa Berterima Kasih

Bentuk perilaku sopan santun lainnya ialah senantiasa berterima kasih atas suatu kebaikan yang kita terima. Teorinya memang mudah. Bahkan sejak dini anak sudah diajarkan bilang terima kasih.

Namun pada praktiknya, orangtua banyak yang lupa atau sungkan mengucapkan terima kasih pada anak melalui hal-hal baik yang telah mereka lakukan. Contoh, orangtua menyuruh anak mengambilkan segelas air minum. Sesudahnya, mereka tidak mengucapkan terima kasih dengan berbagai alasan. Baik karena alasan lupa, gengsi, atau bahkan orangtua merasa itu sudah tugas anak.

Perilaku seperti itu akan menjadi contoh bagi anak. Ke depannya mereka akan menganggap berterima kasih bukan suatu yang penting. Sehingga mereka merasa tidak perlu membiasakan diri untuk melakukannya kepada orang lain.

Tidak Boleh Mempermalukan Orang Lain, namun Memberi Sanksi Pada Anak di Depan Umum

Mempermalukan orang lain atas sebuah kesalahan yang dilakukannya sama sekali bukan contoh sikap sopan santun. Mempermalukan orang lain merupakan bagian dari bullying dan pembunuhan karakter. Karena itu para orangtua sudah mewanti-wanti anak agar tidak melakukan hal tersebut pada siapapun.

Sayangnya, sebagaian orangtua masih ada yang suka menghukum anak di depan umum ketika mereka melakukan sebuah kesalahan. Juga mempermalukan atau merendahkan anak sendiri. Semisal, melabeli anak dengan sebutan-sebutan buruk: “Si Gendut, Si Keling, Si Kurus, Si Penyakitan, dsb.”

Mendidik Tanpa Memberikan Rasa Aman

Konsep mendidik yang baik bukanlah untuk menimbulkan rasa takut, melainkan kepatuhan yang dibarengi dengan rasa tanggung jawab. Memberikan sanksi boleh-boleh saja sebagai efek jera. Namun tetap harus terukur dan relevan dengan kondisi serta kesalahan yang dilakukan.

Namun, mendidik dengan berbagai ancaman bukan cerminan yang bagus untuk membuat anak paham arti sopan santun. Yang akan timbul hanyalah rasa takut, tertekan, dan tidak nyaman.

Perasaan-perasaan negatif itu lambat laun akan terakumulasi dan mengakibatkan tumbuhnya sikap berontak ketika anak merasa sudah cukup besar. Perlawanan mereka jadikan sebagai upaya pembebasan dari rasa takut yang terpendam lama serta berujung pada perselisihan hebat antara anak dan orangtua.

Penutup

Begitulah beberapa contoh dari kegagalan cara mengajarkan anak sopan santun. Dalam hal ini orangtua adalah tokoh sentral bagi anak dalam proses pembentukan karakter baik dan buruk. Maka penting iranya orangtua rajin mengoreksi diri agar dapat menjadi teladan bagi anak.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *